Ini Akan Membuat Anda Meneteskan Air Mata, Meski Hatimu Lebih Keras Dari
Batu.
Sebuah Kesaksian
Tadinya tidak terpikirkan,ikut menjemput dan mengawal para peserta long
march Ciamis-Jakarta di Malangbong. Saat ada keperluan di Cibatu, pukul 15.40
WIB membaca update info rombongan dari salah seorang peserta. Bahwa, rombongan
sudah tiba di mesjid Agung Malangbong. Tertarik dan panggilan hati, ingin
memberi dukungan moril kepada mereka.
Via Sasakbeusi, menuju Malangbong. Perasaan dan hati dibuat bangga dan
sejuk.
Betapa tidak, di sepanjang tepi jalan tampak masyarakat berkerumun di
setiap sudut. Anak-anak, ibu-ibu, bapak-bapak, kakek-kakek, nenek-nenek semua
bersiap menyambut, lengkap dengan makanan dan minuman bahkan buah-buahan.
Di Lewo, berhenti sejenak. Mendekati kerumunan itu dan memasang kamera
kecil. Saat ditanya mengapa mereka melakukan hal itu? Jawaban
mereka:”Lillahita’ala, demi Allah, demi agama kami, demi membela Al Quran yang
telah dinistakan”.
“Ini murni dari hamba Allah, bukan dari partai politik yang dituduhkan si
penista! Kami tidak bisa ikut long march. Tapi, kami ingin mendukung mereka.
Tukang tahu, menyumbang tahu. Tukang emplod, tukang tempe, tukang kerupuk,
tukang roti, tukang bala-bala. Bapak lihat sendiri, ini di depan. Semua
sumbangan sukarela. Ikhlas, gak ada yang membayar!”, jawab mereka.
Subhanallah. Bulu kuduk merinding, ada yang tersekat di tenggorokan. Mereka
rakyat biasa, begitu rela berkorban. Demi keyakinan dan keimanan mereka yang
dinistakan. Mereka rela berkorban dan sudah berdiri di sana, lebih kurang 1,5
jam. Padahal rombongan long march, baru tiba di mesjid Agung Malangbong dan
rehat dengan sholat magrib. Perjalanan baru akan dilanjut bada sholat Magrib.
Tiba di mesjid Agung Malangbong, suasana seperti malam takbiran. Setiap
melewati kerumunan orang-orang gema takbir dan kepalan tangan terangkat selalu
terucap. Tegas tanpa rasa ragu. Tampak beberapa ada yang makan nasi bungkus
berdua, bahkan ada yang bertiga sambil duduk bersandar ke tembok. Belakangan
mendapat informasi dari koordinator konsumsi, bahwa makanan, snack, dan
kemasan, obat-obatan lebih dari cukup sumbangan sukarela dari masyarakat yang
terlewati rombongan. Yang kurang adalah untuk nasi bungkus/box. Untuk nasi
bungkus/box sering mengalami keterlambatan karena langsung didrop dari
pesantren di Ciamis!!! Namun peserta tidak mengeluh, saat di Malangbong
mendapatkan sumbangan 300 nasi bungkus dari masyarakat setempat. Mereka rela
berbagi dengan teman-temannya! Subhanallah!
Untuk makanan kemasan seperti biskuit atau roti dan air kemasan lebih dari
cukup. Bahkan, mobil feeding kewalahan untuk mengangkut semua itu.
Alternatifnya koordinator konsumsi harus mendatangakan dump truck yang besar,
untuk mengangkut semua konsumsi yang disediakan masyarakat sepanjang
Ciamis-Malangbong. Pastinya akan terus bertambahan selama perjalanan ke
Jakarta. Yang mengiris hati diantara makanan kemasan tampak juga makanan
tradisional seperti cuhcur, ali agreg, burayot, rangginang, emplod, ladu,
bahkan air kopi panas yang dimasukan plastik ada di sana! Yang pasti semua
makanan tradisional tersebut diolah oleh rakyat kebanyakan, rakyat miskin,
rakyat yang tidak rela kitab sucinya dihina dan ingin membela dengan cara
mereka.
Kumandang adzan magrib bergema! Wajah-wajah yang tidak bisa menyembunyikan
rasa lelah tapi dengan sorot mata penuh semangat itu langsung mengambil air
wudhu. Tidak sampai 2 menit, kerumunan jemaah lebih dari 2000 orang tersebut
(plus mukimin). Langsung berbanjar rapi. Tanpa harus berteriak-teriak ala
polisi yang kemarin sempat melarang mereka PO bus agar tidak menyewakan bus
kepada mereka. Mereka tertib rapih, merapatkan barisan menghadap kiblat, rapi
makmum hanya sesaat setelah mendengar suara iqamat.
Selama sholat, tidak terasa mata basah. Alhamdulillah, bisa ikut berjamaah
bersama mereka. Terasa atmosfer ghirah izzatul Islam yang kental. Khusu dan
penuh kesyahduan. Setelah membaca salam, air mata makin basah saat para santri
tersebut bersalaman sambil mencium tangan saya penuh hormat. Padahal saya tidak
mengenal mereka. Mereka tidak mengenal saya. Akhlak mereka begitu santun, saat
melewati orang yang lebih tua mereka berjalan membungkuk, merendahkan tubuhnya
dengan posisi tangan lurus ke bawah menyentuh lutut.
Hujan turun gerimis saat meninggalkan mesjid Agung Limbangan, agar dapat
mengambil gambar yang bagus. Lebih kurang 6 km dari alun-alun Malangbong,
berhenti di sebuah warung untuk menyantap mie sambil menunggu rombongan, buang
air kecil dan ngopi. “Paling perkiraan memakan waktu satu jam dari Malangbong
ke sini!” kata si Bapak pemilik warung. “Bapak yakin? Saya perkirakan paling 30
menit. Kan hanya 6 km!” bantah saya. Tapi, saya dan istri dibuat terpelongo
belum lima belas menit duduk sambil menikmat mie rebus. Tiba-tiba dari arah
timur mobil polisi yang mengawal sudah tiba. Polisi memberlakukan jalur satu
arah.
Kendaraan dari arah Limbangan diminta menepi.
Tidak sampai lima menit kemudian, dalam guyuran hujan yang makin deras. Tampak
rombongan muncul dari arah Malangbong! Hanya 20 menit! Mereka bertakbir,
bersholawat menembus hujan dengan hanya berlapiskan jas hujan plastik keresek.
Beriringan, sebagian ada yang berpegangan tangan, sebagian ada yang membawa
tongkat. Sebagian ada yang menggandeng temannya. Tidak henti, mobil ambulan dan
mobil evak yang mengikuti rombongan. Memberikan pengarahan kepada para peserta
yang sudah tidak kuat berjalan jangan memaksakan, silakan naik mobil yang kedua
lampu daruratnya menyala. Tapi yang minta dievak bisa dihitung dengan jari.
Mayoritas mereka tetap berjalan, bahkan ada yang setengah berlari menembus
hujan deras.
Menuju ke Warung Bandrek,Kersamanah di sepanjang jalan tampak masyarakat
menyemut. Lebih heboh daripada tadi sore saat mereka menunggu rombongan.
Makanan dan minuman yang disediakan mereka makin banyak. Seorang nenek, berdiri
di antara kerumunan masyarakat. Di tangannya tampak dia memegang sebungkus
emplod (makanan khas lewo dari singkong). Seorang Bapak sibuk, menyeduh kopi
panas di gelas plastik dan memberikan dengan penuh kasih sayang serta doa
kepada setiap peserta yang melewatinya!
Suasana sangat Islami, tulus, ihlas dan ukhuwah Islamiyah. Berkali-kali saya
dan istri menyeka air mata saat menyaksikan mereka di sepanjang perjalanan.
Allahu Akbar!
Ya Allah, saksikanlah kami ridho Engkau menjadi Tuhan kami. Kami ridho Islam
menjadi agama kami. Kami ridho Nabi Muhammad S.A.W. menjadi Rosul kami, kami
rela Al Quran menjadi kitab suci kami! Jauhkan kami dari orang-orang munafik,
yang lebih ridho kaum kafir jadi pemimpinnya dan menyangkal kebenaran kalam-Mu.
Amiiin....
Copy post : Deny Suwarja
Image : eko prasetya
No comments:
Post a Comment